Syekh Ayman Suwaid tentang hukum Ro' pada Youtube
http://www.youtube.com/watch?v=DF2VEmXRRTg
مخرج الراء
http://alihssen.com/Tajweed-Quran/1/
http://archive.org/details/c123z/
catatan pribadi
Monday, 21 October 2013
Wednesday, 16 October 2013
Al-Qur’an Sebagai OBAT
(Harian SOLOPOS, Jumat 27 September 2013). Banyaknya kasus
pelanggaran hukum, merebaknya kema’shiyatan, maraknya pesta miras dan
narkoba, seringnya terjadi bentrok antar kelompok menunjukkan bahwa
bangsa ini sedang sakit.
Moral, akhlaq, jiwa, atau hati nurani bangsa ini sedang mengalami sakit parah dan belum ada pemimpin bangsa yang mampu menyembuhkannya. Ruwatan massal, kenduri nasional, dan dzikir akbar sudah dilakukan, tetapi tidak membawa perubahan.
Restrukturisasi lembaga legislatif, desentralisasi lembaga eksekutif, dan revitalisasi lembaga yudikatif sudah dilakukan, tetapi hasilnya masih sama saja. Akademisi brilian, kritikus vokal, dan politikus handal yang terlibat dalam pemerintahan belum mampu mengatasi persoalan.
Mereka terjebak dalam persoalan yang sama, yakni salah sasaran dalam melakukan perbaikan.
Bukanlah sistem pemerintahan, manajemen keuangan, atau pemberdayaan sumber alam yang memerlukan perbaikan, tetapi hati nurani manusia yang mengelolanya.
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
Menyembuhkan hati mereka dari berbagai macam penyakit yang bersarang di dalamnya, sehingga bisa dimanfaatkan kembali untuk menumbuhkan taqwa. Sedang obat penyakit hati itu adalah Al-Qur’an.
Seperti firman Allah dalam QS Yunus : 57
Qur’an mengajar manusia untuk qana’ah, maka orang yang mengikuti Al-Qur’an tidak akan serakah, dirinya terhindar dari berbagai tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme, sehingga berbagai kejahatan ekonomi bisa diatasi.
Qur’an mengajar manusia untuk suka bersedeqah, maka orang yang mengikuti Al-Qur’an akan lebih suka memberi dari pada diberi, kedermawanan merebak dimana-mana, sehingga persoalan kemiskinan bisa diatasi.
Qur’an mengajar manusia untuk mensyukuri nikmat persatuan dan persaudaraan, serta melarang perselisihan dan pecah belah, maka orang yang mengikuti Al-Qur’an akan bersatu, bersaudara, tidak berselisih, apalagi berpecah belah. Sehingga persoalan perkelahian antar pemuda, perang antar suku, bentrok antara aparat dan sejenisnya bisa diatasi.
Qur’an mengajarkan semua manusia bertanggungjawab atas perbuatan masing-masing di hadapan Allah, tidak kepada DPR atau rakyat, karena anggota DPR bisa disuap dan rakyat bisa dibohongi. Maka para pemimpin yang mengikuti Al-Qur’an akan menjadi pemimpin yang kredibel dan akuntabel, sehingga persoalan pemimpin yang suka obral janji tanpa bukti bisa diatasi.
Qur’an mengajarkan bahwa memelihara nyawa satu orang sama dengan memelihara nyawa manusia seluruhnya. Maka orang yang mengikuti Al-Qur’an akan menghormati nyawa orang lain, sehingga persoalan mutilasi, pembunuhan berantai, dan penganiayaan bisa diatasi. Tidak ada persoalan yang tidak bisa diatasi dengan Al-Qur’an.
Moral, akhlaq, jiwa, atau hati nurani bangsa ini sedang mengalami sakit parah dan belum ada pemimpin bangsa yang mampu menyembuhkannya. Ruwatan massal, kenduri nasional, dan dzikir akbar sudah dilakukan, tetapi tidak membawa perubahan.
Restrukturisasi lembaga legislatif, desentralisasi lembaga eksekutif, dan revitalisasi lembaga yudikatif sudah dilakukan, tetapi hasilnya masih sama saja. Akademisi brilian, kritikus vokal, dan politikus handal yang terlibat dalam pemerintahan belum mampu mengatasi persoalan.
Mereka terjebak dalam persoalan yang sama, yakni salah sasaran dalam melakukan perbaikan.
Bukanlah sistem pemerintahan, manajemen keuangan, atau pemberdayaan sumber alam yang memerlukan perbaikan, tetapi hati nurani manusia yang mengelolanya.
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Ketahuilah, bahwa dalam setiap tubuh manusia terdapat segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka baik pulalah seluruh badannya, namun jika segumpal daging tersebut rusak, maka rusak pulalah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging tersebut adalah hati.” [HR Muslim]Artinya pikiran, ucapan dan perbuatan manusia itu akan baik, bila hatinya baik. Maka untuk menghindarkan negeri ini dari keterpurukan, yang perlu dilakukan adalah memperbaiki kembali hati bangsa Indonesia.
Menyembuhkan hati mereka dari berbagai macam penyakit yang bersarang di dalamnya, sehingga bisa dimanfaatkan kembali untuk menumbuhkan taqwa. Sedang obat penyakit hati itu adalah Al-Qur’an.
Seperti firman Allah dalam QS Yunus : 57
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
”Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”.Al-Qur’an adalah firman Allah, sekaligus merupakan perkataan yang terbaik. Siapapun yang mengikuti Al-Qur’an, maka dia akan menjadi orang yang baik.
Qur’an mengajar manusia untuk qana’ah, maka orang yang mengikuti Al-Qur’an tidak akan serakah, dirinya terhindar dari berbagai tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme, sehingga berbagai kejahatan ekonomi bisa diatasi.
Qur’an mengajar manusia untuk suka bersedeqah, maka orang yang mengikuti Al-Qur’an akan lebih suka memberi dari pada diberi, kedermawanan merebak dimana-mana, sehingga persoalan kemiskinan bisa diatasi.
Qur’an mengajar manusia untuk mensyukuri nikmat persatuan dan persaudaraan, serta melarang perselisihan dan pecah belah, maka orang yang mengikuti Al-Qur’an akan bersatu, bersaudara, tidak berselisih, apalagi berpecah belah. Sehingga persoalan perkelahian antar pemuda, perang antar suku, bentrok antara aparat dan sejenisnya bisa diatasi.
Qur’an mengajarkan semua manusia bertanggungjawab atas perbuatan masing-masing di hadapan Allah, tidak kepada DPR atau rakyat, karena anggota DPR bisa disuap dan rakyat bisa dibohongi. Maka para pemimpin yang mengikuti Al-Qur’an akan menjadi pemimpin yang kredibel dan akuntabel, sehingga persoalan pemimpin yang suka obral janji tanpa bukti bisa diatasi.
Qur’an mengajarkan bahwa memelihara nyawa satu orang sama dengan memelihara nyawa manusia seluruhnya. Maka orang yang mengikuti Al-Qur’an akan menghormati nyawa orang lain, sehingga persoalan mutilasi, pembunuhan berantai, dan penganiayaan bisa diatasi. Tidak ada persoalan yang tidak bisa diatasi dengan Al-Qur’an.
Umar bin Khaththab yang pernah mengubur anak perempuannya hidup-hiduppun menjadi manusia yang berhati mulia dengan Qur’an.Begitu pula dengan bangsa Indonesia, bangsa ini akan bangkit dan berjaya bila menjadikan Al-Qur’an sebagai solusi, sebagai obat penyakit yang dideritanya. Semoga Allah memberi kemudahan bangsa ini untuk bangkit dan berjaya dengan Al-Qur’an, aamiin ya rabbal’alamiin. ***
Al-Ustadz Drs. Ahmad Sukina
Pimpinan Pusat Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA)
Pimpinan Pusat Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA)
Labels:
Islam
Monday, 7 October 2013
QIRA'AT 'ASHIM RIWAYAT HAFS DI DUNIA ISLAM
KEMASYHURAN QIRA'AT 'ASHIM RIWAYAT HAFS DI DUNIA ISLAM
Oleh : Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad, MA[1]
Dalam Ilmu Qira’at ada sepuluh Imam Qira’at yang sangat masyhur, bacaan
mereka disepakati oleh Ulama Qira’at sebagai bacaan yang mutawatir,
artinya bacaan yang betul-betul asli berasal dari nabi Muhammad dari
malaikat Jibril dari Allah. Sepuluh Imam Qira’aat tersebut ialah : 1.
Nafi’ bin Abi Nu’aim al-Ashbihani. 2. Ibn Katsir, Abdullah bin Katsir
al-Makki. 3. Abu ‘Amr , Zaban bin al-‘Ala’. 4. Ibn ‘Amir Abdullah bin
‘Amir as-Syami. 5. ’Ashim bin Abi an-Najud. 6. Hamzah bin Habib
az-Zayyat. 7. Kisa’I, Ali bin Hamzah. 8. Abu Ja’far, Yazid bin
al-Qa’qa’. 9. Ya’qub al-Hadlrami dan 10. Khalaf al-bazzar (al-Bazzaz).
Setiap Imam tersebut mempunyai banyak murid. Di antara mereka ada murid
kenamaan yang sangat mahir meriwayatkan bacaan Al-Qur’an dari imam-imam
mereka atau murid-muridnya.
Dalam perjalanan waktu, dan karena seleksi ilmiah dan alamiah, muncul
nama-nama yang akhirnya dijadikan sebagai referensi yang sangat valid
dan sangat dipercaya sebagai bacaan yang merefleksikan bacaan Imam-Imam
qira’at sebagaimana di atas. Mereka yang disebut sebagai para perawi
dari Imam-Imam sepuluh adalah : 1. Nafi’ kedua perawinya : Qalun dan
Warsy. 2. Ibn Katsir : al-Bazzi dan Qunbul. 3. Abu ‘Amr : ad-Duri dan
as-Susi. 4. Ibn ‘Amir : Hisyam dan Ibn Dzakwan. 5. ‘Ashim: Syu’bah dan
Hafsh. 6. Hamzah : Khalaf dan Khallad. 7. Al-Kisa’I : Abu al-Harits dan
ad-Duri al-Kisa’i. 8. Abu Ja’far : Ibn Jammaz dan Ibn Wardan. 9. Ya’qub :
Rauh dan Ruwais. 10. Khalaf : Ishaq dan Idris. Yang akan kita bicarakan
disini adalah Imam Hafsh perawi utama Imam ‘Ashim.
Riwayat Hidup Imam Hafsh.
Namanya Hafsh bin Sulaiman bin al-Mughirah, Abu Umar bin Abi Dawud
al-Asadi al-Kufi al-Ghadliri al-Bazzaz. Beliau lahir pada tahun 90 H.
Pada masa mudanya beliau belajar langsung kepada Imam ‘Ashim yang juga
menjadi bapak tirinya sendiri. Hafsh tidak cukup mengkhatamkan Al-Qur’an
satu kali tapi dia mengkhatamkan Al-Qur’an hingga beberapa kali,
sehingga Hafsh sangat mahir dengan Qira’at ‘Ashim.
Sangatlah beralasan jika Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa : “riwayat
yang sahih dari Imam ‘Ashim adalah riwayatnya Hafsh”. Abu Hasyim
ar-Rifa’I juga mengatakan bahwa Hafsh adalah orang yang paling
mengetahui bacaan Imam ‘Ashim. Imam adz-Dzahabi memberikan penilaian
yang sama bahwa dalam penguasaan materi Qira’at, Hafsh adalah merupakan
seorang yang tsiqah (terpercaya) dan tsabt (mantap). Sebenarnya Imam
‘Ashim juga mempunyai murid-murid kenamaan lainnya, salah satu dari
mereka yang akhirnya menjadi perawi yang masyhur adalah Syu’bah Abu
bakar bin al-‘Ayyasy. Hanya saja para ulama lebih banyak mengunggulkan
Hafsh daripada Syu’bah.
Imam Ibn al-Jazari dalam kitabnya “Ghayah an-Nihayah fi Thabaqat
al-Qurra’ ” tidak menyebutkan guru-guru Hafsh kecuali Imam ‘Ashim saja.
Sementara murid-murid beliau tidak terhitung banyaknya, mengingat beliau
mengajarkan Al-Qur’an dalam rentang waktu yang demikian lama. Di antara
murid-murid Hafsh adalah : Husein bin Muhammad al-Murudzi, Hamzah bin
Qasim al-Ahwal, Sulaiman bin Dawud az-Zahrani, Hamd bin Abi Utsman
ad-Daqqaq, al-‘Abbas bin al-Fadl ash-Shaffar, Abdurrahman bin Muhamad
bin Waqid, Muhammad bin al-fadl Zarqan, ‘Amr bin ash-Shabbah, Ubaid bin
ash-Shabbah, Hubairah bin Muhammad at-Tammar, Abu Syu’aib al-Qawwas,
al-Fadl bin Yahya bin Syahi, al-Husain bin Ali al-Ju’fi, Ahmad bin
Jubair al-Inthaqi dan lain-lain.
Hafsh memang seorang yang menghabiskan umurnya untuk berkhidmah kepada
Al-Qur’an. Setelah puas menimba ilmu Qira’at kepada Imam ‘Ashim, beliau
berkelana ke beberapa negeri antara lain Baghdad yang merupakan Ibukota
negara pada saat itu. Kemudian dilanjutkan pergi menuju ke Mekah. Pada
kedua tempat tersebut, Hafsh mendarmabaktikan ilmunya dengan mengajarkan
ilmu Qira’at khususnya riwayat ‘Ashim kepada penduduk kedua negeri
tersebut. Bisa dibayangkan berapa jumlah murid di kedua tempat itu yang
menimba ilmu dari beliau. Jika kemudian riwayat Hafsh bisa melebar ke
seantero negeri, hal tersebut tidaklah aneh mengingat kedua negeri
tersebut adalah pusat keislaman pada saat itu.
Sanad Bacaan Hafsh.
Sanad ( runtutan periwayatan) Imam Hafsh dari Imam ‘Ashim berujung
kepada sahabat Ali bin Abi Thalib. Sementara bacaan Syu’bah bermuara
kepada sahabat Abdullah bin Mas’ud. Hal tersebut dikemukakan sendiri
oleh Hafsh ketika beliau mengemukakan kepada Imam ‘Ashim, kenapa bacaan
Syu’bah banyak berbeda dengan bacaannya ? padahal keduanya berguru
kepada Imam yang sama yaitu ‘Ashim. Lalu ‘Ashim menceritakan tentang
runtutan sanad kedua rawi tersebut. Runtutan riwayat Hafsh adalah
demikian: Hafsh - ‘Ashim - Abu Abdurrahman as-Sulami- Ali bin Abi
Thalib. Sementara runtutan periwayatan Syu’bah adalah demikian: Syu’bah-
Ashim- Zirr bin Hubaisy-Abdullah bin Mas’ud.
Penyebaran Qira’at di Negeri-Negeri Islam.
Pada saat ini Qira’at yang masih hidup di tengah-tengah umat Islam di
seluruh dunia tinggal beberapa saja, yaitu :
1. Bacaan Imam Nafi’ melalui riwayat Qalun masih digunakan oleh
masyarakat Libia dan Tunisia pada umumnya. Sementara riwayat Warsy masih
digunakan oleh masyarakat di Afrika Utara (al-Maghrib al-‘Arabi)
seperti Aljazair, Maroko, Mauritania. Sedangkan masyarakat di Sudan
masih menggunakan empat riwayat yaitu : Qalun, Warsy, ad-Duri Abu ‘Amr,
dan Hafsh.
2. Bacaan riwayat ad-Duri Abu ‘Amr masih banyak digunakan oleh kaum
Muslimin di Somalia, Sudan, Chad, Nigeria, dan Afrika tengah secara
umum. Pada waktu-waktu yang lalu riwayat ad-Duri juga digunakan oleh
orang Yaman. Hal itu terbukti bahwa Tafsir Fath al-Qadir karya
asy-Syaukani tulisan Al-Qur’annya mengikuti riwayat ad-Duri. Adanya
riwayat ad-Duri di Yaman barangkali rembesan dari Sudan. Mengingat
hubungan kedua negera tersebut telah terjalin sejak dahulu.
3. Bacaan Al-Qur’an riwayat Hafsh dari ‘Ashim adalah bacaan yang paling
banyak tersebar di seantero dunia Islam.
Mengingat masih hidupnya beberapa bacaan melalui riwayat tersebut di
atas, pemerintah Saudi Arabia melalui Mujamma’ Malik Fahd bin Abdul
Aziz, telah mencetak beberapa Mushaf Al-Qur’an dengan lima riwayat yaitu
: Hafsh, Qalun, Warsy, ad-Duri dan terakhir adalah Syu’bah.
Latar Belakang Penyebaran Qira’at di Dunia Islam.
Sebagaimana diketahui bahwa pada masa sahabat Umar bin Khaththab, banyak
negeri-negeri di Irak dan Syam jatuh ke tangan kaum Muslimin. Banyak
permintaan dari kaum Muslimin di negeri-negeri tersebut kepada sahabat
Umar agar mengirimkan guru-guru Al-Qur’an ke negeri-negeri mereka. Maka
sahabat Umar mengirimkan beberapa utusannya, antara lain adalah sahabat
Ibnu Mas’ud diutus ke Kufah, Abu Musa al-Asy’ari diutus ke Basrah, Abu
ad-Darda’ diutus ke Syam (Syiria). Bacaan mereka itulah yang akhirnya
menyebar ke negeri negeri tersebut.
Pada masa sahabat Usman, terutama setelah penulisan ulang mushaf
Al-Qur’an, sahabat Usman mengirimkan beberapa guru Al-Qur’an bersama
dengan mushaf yang baru saja ditulis ke negeri-negeri Basrah, Kufah,
dan Syam. Penduduk negeri-negeri tersebut berseteru tentang bacaan
Al-Qur’an mereka pada saat perang di Azerbaijan dan Armenia di Uni
Soviet. Pada saat itu sahabat Usman mengutus al-Mughirah bin Abi Syihab
al-Makhzumi ke Syam. Dari Syam lalu muncul seorang Qari’ terkenal yaitu
Ibn ‘Amir. Ibn al-Jazari mengatakan bahwa bacaan penduduk negeri Syam
sampai pada tahun 500 H, menggunakan Qira’at Ibn ‘Amir.
Adapun di negeri Basrah di Iraq setelah masa Abu Musa al-Asy’ari
muncullah beberapa Imam Qira’at. Di antara mereka adalah Imam Abu ‘Amr
al-Bashri dan Ya’qub al-Hadlrami. Sampai pada tahun 200 H, masyarakat
Basrah masih menggunakan Qira’at Abu ‘Amr al-Bashri. Kemudian mereka
beralih ke Qira’at Ya’qub al-Hadlrami sampai abad ke 5 H sebelum
akhirnya beralih ke riwayat Hafsh pada masa Turki Usmani.
Sementara di negeri Kufah dimana Abdullah bin Mas’ud dikirim untuk
mereka, muncul banyak ahli Qira’at. Di antara mereka adalah Imam ‘Ashim.
Lalu Imam ‘Ashim sebagaimana diutarakan di atas mengajarkan kepada
murid-muridnya antara lain Hafsh dan Syu’bah. Keterkaitan penduduk Kufah
dengan Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib adalah sesuatu yang
sangat wajar. Penduduk Kufah dalam sejarah perpolitikan adalah pengikut
setia (syi’ah) Ali bin Abi Thalib. Sedangkan Ibn Mas’ud adalah orang
pertama yang mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada penduduk Kufah.
Sehingga mereka bangga dengan Ibn Mas’ud.
Disamping bacaan Imam ‘Ashim, di Kufah juga tersebar bacaan Imam Hamzah,
perawi Hamzah al-Kisa’i dan Khalaf. Tentang tersebarnya bacaan Hamzah,
Ibn Mujahid berkata dalam kitabnya as-Sab’ah, ketika mengutip perkataan
Muhammad bin al-Haitsam al-Muqri :
) أدركت الكوفة ومسجدها الغالب عليه قراءة حمزة , ولا أعلمنى أدركت حلقة
من حلق المسجد يقرءون بقراءة عاصم )
Artinya : aku menjumpai penduduk Kufah, bacaan yang dibaca di
masjid-masjid mereka adalah bacaan Hamzah. Aku tidak menjumpai beberapa
kelompok pengajian Al-Qur’an di masjid-masjid Kufah dengan bacaan Imam
‘Ashim.
Akan halnya bacaan al-Kisa’i, dalam banyak hal banyak persamaannya
dengan bacaan Imam Hamzah terutama dalam bab Imalah.
Ibn Mujahid dalam kitabnya “as-Sab’ah” yang ditulis sekitar tahun 300 H
menjelaskan, bahwa bacaan Al-Qur’an pada negeri-negeri Islam adalah
sebagai berikut : di Mekah dengan bacaan Ibn Katsir, di Madinah dengan
bacaan Nafi’, di Basrah dengan bacaan Abu ‘Amr al-Bashri. Sementara
di Kufah dengan bacaan ‘Ashim, Hamzah dan al-Kisa’i. Sementara itu Imam
Makki al-Qaisi (w. 437 H) berkata tentang bacaan penduduk negeri-negeri
Islam pada masa lalu:
) وكان الناس على رأس المائتين بالبصرة على قراء ة أبى عمرو البصرى ويعقوب
الحضرمى , وعلى أهل الكوفة قراءة حمزة وعاصم , وبالشام على قراءة ابن عامر ,
وبمكة على قراءة ابن كثير , وبالمدينة على قراءة نافع , واستمروا على ذلك .
فلما كان على رأس الثلاث مئة اثبت ابن مجاهاد اسم الكسائى وحذف يعقوب )
Artinya : pada permulaan tahun 200 H, masyarakat di Basrah mengikuti
bacaan Abu ‘Amr al-Basri dan Ya’qub. Di Kufah mengikuti bacaan Hamzah
dan ‘Ashim. Di Syam mengikuti bacaan Ibn ‘Amir. Di Madinah mengikuti
bacaan Nafi’. Kemudian pada penghujung tahun 300 H, Ibn Mujahid memasang
nama al-Kisa’i dan mengganti Ya’qub.
Tersebarnya Riwayat Hafsh.
Banyak dibicarakan oleh komunitas Al-Qur’an baik di dunia Arab atau
lainnya tentang penyebab tersebarnya riwayat Hafsh di dunia Islam.
Sebagian kalangan mengatakan bahwa pemerintahan Turki Usmani (sekitar
922 H/1516 M) mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam hal ini,
yaitu melalui kekuatan politik kekuasaan. Sebagaimana diketahui bahwa
pemerintahan Turki Usmani pada saat mencetak mushaf, mereka memilih
bacaan riwayat Hafsh. Lalu mereka kembangkan bacaan riwayat ini ke
seluruh negeri.
Namun pendapat ini dibantah oleh Ghanim Qadduri al-Hamd. Dia mengatakan
bahwa riwayat Hafsh sebenarnya telah menyebar di beberapa tempat.
Kemudian Ghanim menyebutkan perkataan Abu Hayyan dalam tafsirnya
“al-Bahr al-Muhith”: tentang riwayat Warsy dan ‘Ashim :
( وهى (رواية ورش ) الرواية التى تنشأ عنها ببلادنا ( الأندلس ) ونتعلمها
فى المكتب . وقال عن قراءة عاصم : وهى القراءة التى ينشأ عليها أهل العراق
) ( البحر 115/1)
Ghanim kemudian merujuk kepada perkataan Muhammad al-Mar’asyi yang hidup
pada abad ke 12 H (w. 1150 H) yang disebut juga dengan Savhaqli Zadah:
( والمأخوذ فى ديارنا ( عش مدينة فى جنوب تركيا الآن ) قراءة عاصم برواية
حفص عنه )
Artinya : yang dijadikan patokan di negeri kami (Turki) adalah bacaan
‘Ashim riwayat Hafsh.
Dalam pandangan penulis ada beberapa penyebab tentang menyebarnya
riwayat Hafsh. Ada yang berupa faktor alamiah yaitu riwayat tersebut
mengalir dan menyebar dengan sendirinya seperti mengalirnya air
sebagaimana juga tersebarnya madzhab-madzhab fikih, dan ada juga faktor
ilmiah yaitu dilihat dari materi bacaan Hafsh itu sendiri. Secara garis
besar bisa penulis rangkum sebagai berikut :
1.Jika dilihat dari segi materi ilmiah, maka riwayat Hafsh adalah
riwayat yang relatif mudah dibaca bagi orang yang non Arab mengingat
beberapa hal :
Pertama : tidak banyak bacaan Imalah, kecuali pada kata : (مجراها )
pada surah Hud. Hal ini berbeda dengan bacaan Syu’bah, Hamzah,
al-Kisa’i, Abu ‘Amr dan Warsy yang banyak membaca Imalah.
Kedua : tidak ada bacaan Shilah Mim Jama’ sebagaimana apa yang kita
lihat pada bacaan Qalun dan Warsy. Bacaan Shilah membutuhkan kecermatan
bagi pembaca, mengingat bacaan ini tidak ada tanda tertulisnya.
Ketiga : Dalam membaca Mad Muttashil dan Munfashil, bacaan riwayat Hafsh
terutama thariq Syathibiyyah tidak terlalu panjang sebagaimana bacaan
Warsy dan Hamzah yang membutuhkan nafas yang panjang. Bahkan dalam
thariq Thayyibah, yaitu yang melalui jalur ‘Amr bin ash-Shabbah thariq
Zar’an dan al-Fil bacaan Hafsh dalam Mad Munfashil bisa Qashr (2
harakat).
Keempat : dalam membaca Hamzah baik yang bertemu dalam satu kalimah atau
pada dua kalimah, baik berharakat atau sukun, riwayat Hafsh cenderung
membaca tahqiq yaitu membaca dengan tegas (syiddah) dengan tekanan suara
dan nafas yang kuat, sehingga terkesan kasar. Hal ini berbeda dengan
bacaan Nafi’ melalui riwayat Warsy, Qalun. Bacaan Abu ‘Amr melalui
riwayat ad-Duri dan as-Susi. Bacaan Ibn Katsir melalui riwayat
al-Bazzi dan Qunbul yang banyak merubah bacaan Hamzah menjadi bacaan
yang lunak. Contohnya adalah pada Hamzah sakinah atau jika ada dua
Hamzah bertemu dalam satu kalimah atau dua kalimah. Imam Hafsh mempunyai
bacaan tashil baina baina hanya pada satu tempat saja yaitu pada
kalimat : ( ءأعجمى ) pada surah Fushshilat : 44.
Kelima : Hafsh mempunyai bacaan Isymam hanya pada satu tempat yaitu pada
kata : ( لا تأمنا ) sebagaimana juga bacaan imam lainnya selain Abu
Ja’far.
Keenam: Hafsh mempunyai bacaan Mad Shilah Qashirah hanya pada kalimat :
ويخلد فيه مهانا ) ) pada surah al-Furqan: 69. Hal ini berbeda dengan
bacaan Ibn Katsir yang banyak membaca Shilah Ha’ Kinayah.
2.Jika dilihat dari awal kemunculan bacaan ‘Ashim yaitu di Kufah atau
Iraq, secara politis, negeri Kufah (Iraq) adalah negerinya pengikut Ali
(Syi’ah). Bacaan Hafsh juga bermuara kepada sahabat Ali. Kemudian
Negeri Baghdad, dimana Hafsh pernah mengajar disini, adalah Ibukota
negara (Abbasiyyah) pada masa itu, pusat kegiatan ilmiah, sehingga
penyebarannya relatif lebih mudah. Jika kemudian Hafsh bermukim di Mekah
kiblat kaum Muslimin yang banyak dihuni mukimin dari berbagai penjuru
dunia dan mengajar Al-Qur’an di sini, maka bisa dibayangkan pengaruh
bacaannya.
Penulis juga melihat adanya hubungan yang cukup signifikan antara
madzhab fikih dan Qira’at. Sebagai contoh: riwayat Warsy adalah riwayat
yang banyak diikuti oleh masyarakat di Afrika Utara. Di sana madzhab
fikih yang banyak dianut adalah madzhab Maliki. Masa hidup Imam Malik
adalah sama dengan masa hidup Imam Nafi’. Keduanya di Madinah. Bisa
jadi pada saat masyarakat Afrika Utara berkunjung ke Madinah untuk haji
atau lainnya, mereka belajar fikih kepada Imam Malik dan belajar
Qira’atnya kepada Imam Nafi’. Kita tahu bahwa Hafsh pernah bermukim dan
mengajar Al-Qur’an di Mekah. Imam Syafi’i juga hidup di Mekah. Boleh
jadi pada saat hidupnya kedua Imam tersebut kaum Muslimin memilih
madzhab kedua Imam tersebut. Kemudian jika kita melihat sanad bacaan
riwayat Hafsh pada guru-guru dari Indonesia, semisal sanad Kiai Munawwir
Krapyak, akan kita jumpai banyak ulama madzhab Syafi’i pada sanad
tersebut, seperti Zakariyya al-Anshari dan lain sebagainya.
3.Hafsh mempunyai jam mengajar yang demikian lama, sebagaimana dikatakan
oleh Ibn al-Jazari sehingga murid-muridnya bertebaran di berbagai
tempat. Hal ini berbeda dengan Syu’bah yang tidak begitu lama mengajar.
4.Hafsh dianggap sebagai perawi Imam ‘Ashim yang demikian piawai dan
menguasai terhadap bacaan gurunya. Sebagaimana diketahui Hafsh adalah
murid yang sangat setia pada ‘Ashim. Mengulang bacaan berkali-kali, dan
menyebarkan bacaan ‘Ashim di beberapa negeri dalam rentang waktu yang
demikian lama. Makki al-Qaisi menyebutkan bahwa ‘Ashim mempunyai
kefashihan membaca yang tinggi, validitas sanadnya juga sangat kuat dan
para perawinya juga tsiqah (sangat dipercaya).
5.Ghanim Qadduri al-Hamd menyebutkan bahwa mushaf pertama yang di cetak
di Hamburg (Jerman) pada tahun 1694 M/1106 H, diharakati dengan bacaan
Hafsh yang ada di perpustakaan-perpustakaan di beberapa negeri Islam.
Hal ini mempunyai banyak pengaruh pada masyarakat, dimana mereka
menginginkan adanya mushaf yang sudah dicetak. Para penerbit mushaf di
Hamburg sudah tentu melihat terlebih dahulu kecenderungan masyarakat
Islam pada saat itu. Bahkan Blacher, seorang orientalis yang cukup
terkemuka dalam bidang studi Al-Qur’an pernah mengatakan :
( ان الجماعة الاسلامية لن تعترف فى المستقبل الا بقراءة حفص عن عاصم )
artinya : kaum Muslimin pada masa yang akan datang tidak akan
menggunakan bacaan Al-Qur’an kecuali dengan riwayat Hafsh dari ‘Ashim.
Pernyataan Blacher yang pasti didahului oleh pengamatan yang seksama,
jelas menggambarkan kecenderungan masyarakat di dunia Islam pada saat
itu dan pada masa yang akan datang sehingga dia bisa memastikan hal
tersebut.
6.Ghanim Qadduri juga menyebutkan dengan melansir dari kitab “Tarikh
Al-Qur’an” karya Muhammad Thahir Kurdi, bahwa penulis mushaf yang
sangat terkenal pada masa pemerintahan Turki Usmani, adalah al-Hafizh
Usman (w. 1110 H). Penulis ini sepanjang hidupnya telah menulis mushaf
dengan tangannya sendiri, sebanyak 25 mushaf. Dari mushaf yang
diterbitkan inilah riwayat Hafsh menyebar ke seantero negeri. Penulis
melihat bagaimana hubungan antara keahlian menulis mushaf dengan khat
yang indah bisa menjadi unsur yang cukup signifikan dalam penyebaran
satu riwayat. Jika kemudian pemerintah Turki Usmani mencetak mushaf
sendiri, dan menyebarkannya ke seantero negeri kekuasaannya, maka hal
itu akan menambah pesatnya riwayat Hafsh. Dari sini penulis melihat
adanya hubungan antara kekuasaan politik dengan penyebaran satu ideologi
tertentu.
7.Peranan para qari’, guru, imam salat, dan radio, kaset, televisi, juga
sangat berpengaruh terhadap penyebaran riwayat Hafsh. Kita tahu bahwa
rekaman suara pertama di dunia Islam adalah suaranya Mahmud Khalil
al-Hushari atas inisiatif dari Labib Sa’id sebagaimana diceritakannya
sendiri pada kitabnya “ al-Mushaf al-Murattal atau al-Jam’ash Shauti
al-Awwal” rekaman ini dengan riwayat Hafsh thariq asy-Syathibiyyah.
Suara yang bagus melalui teknologi yang canggih ikut memengaruhi satu
bacaan.
8.Lebih dari penyebab lahiriah dari penyebaran riwayat Hafsh, kita tidak
boleh melupakan adanya penyebab “maknawiyyah” atau faktor “berkah” atau
bisa kita katakan faktor “x” pada diri Hafsh. Unsur-unsur spiritual
seperti kesalehan, keikhlasan, ketekunan, pengorbanan Hafsh dalam
mengabdi kepada Al-Qur’an ikut menjadi penyebab tersebarnya satu riwayat
bahkan madzhab fikih atau lainnya.
Penutup.
Riwayat Hafsh telah menjadi femomena tersendiri dalam penyebaran satu
riwayat dalam Qira’at. Riwayat Hafsh akan terus melebar dan menyebar ke
seantero dunia, bahkan ke negeri-negeri yang menggunakan riwayat lain
seperti Warsy, Qalun, ad-Duri dan lain-lainnya, sesuai dengan hukum
kemasyarakatan. Dengan semakin menyebarnya riwayat ini, kedudukan
Al-Qur’an menjadi semakin kokoh, keorisinilan bacaan Al-Qur’an dan
mushaf Al-Qur’an menjadi semakin meyakinkan. Meredupnya riwayat lain
bukan berarti meredupnya kemutawatiran satu bacaan. Bacaan-bacaan
tersebut masih tetap mutawatir karena telah diakui oleh para imam-imam
Qira’at terdahulu. Nabi sendiri tidak mewajibkan membaca Al-Qur’an
dengan seluruh macam bacaan yang pernah diajarkannya kepada para
sahabat-sahabatnya. Tapi Nabi hanya menyuruh para sahabatnya untuk
membaca bacaan yang mudah baginya. Dengan demikian Al-Qur’an akan tetap
terjaga kemurniannya sampai akhir zaman nanti. Itu pertanda bahwa
Al-Qur’an adalah Kalamullah
Labels:
Islam
Wednesday, 2 October 2013
Memilih Kecepatan Dalam Membaca Al Quran?
Terkadang kita akan mendapati berbagai
macam cara orang dalam membaca Al Quran. Disitulah mungkin timbul
kebimbangan, ketika melihat orang lain membaca dengan cepat, sementara
kita ingin juga kejar target namun ragu apakah boleh membaca secara
demikian.
Sahabat sebelum membahasnya kita akan menyimak hukum mempelajari tajwid.
Tajwid
Adapun hukum mempelajari Ilmu Tajwid
sebagai disiplin ilmu adalah fardu kifayah. maksudnya kewajibannya bisa
digugurkan apabila ada orang lain yang melakukannya. Adapun hukum
membaca Al Quran dengan memakai aturan-aturan tajwid adalah fardu ‘ain
yaitu wajib bagi setiap dari kita. Firman Allah SWT:
وَرَتِّلِ الْقُرْ ا نَ تَرْتِيْلًا..
“Dan bacalah AlQuran dengan tartil.” (Q.S. Al-Muzzammil 73: 4).
Rasulullah SAW juga bersabda :
إ ِقْرَؤُوْا الْقُرْآَنَ بِلُحُوْنِ الْعَرَبِ وَ أَصْوَاتِهَا (رواه الطبران)
“Bacalah AlQuran dengan cara dan suara orang Arab yang fasih”. (HR. Thabrani)
Syekh Ibnul Jazari (Ulama pakar ilmu tajwid dan qiro’at) dalam syairnya mengatakan:
وَ الْأَخْذُ بِالتَّجْوِيْدِ حَتْمٌ لَازِمٌ # مَنْ لَمْ يُجَوِّدِ القُرْآَنَ اَثِمٌ
لِأَنَّهُ بِهِ الْإِلَهُ اَنْزَلَ # وَ هَكَذَا مِنْهُ اِلَيْنَا وَ صَلَا
“Membaca AlQuran dengan tajwid hukumnya
wajib, Siapa saja yang membaca AlQuran tanpa memakai tajwid hukumnya
dosa, Karena sesungguhnya Allah menurunkan AlQuran berikut tajwidnya.
Demikianlah yang sampai pada kita dari-Nya.”
Karena itulah jangan heran jika tidak
semua qori’ ternyata bisa membaca Al Quran dengan indah, dan mematuhi
tajwid namun tidak semua mengerti hukum tajwid, nama mad dls.
Bagaimana dengan Tahsin?
Tujuan utama mempelajari ilmu tajwid
dalam rangka tahsin tilawah adalah menjaga lidah dari kesalahan ketika
membaca AlQuran. Dan kesalahan dalam membaca AlQuran ada dua macam :
a. ا َلَّلحْنُ اْلجَلِيْ /Al-Lahnul Jaliy
Kesalahan yang terlihat dengan jelas baik dikalangan awam maupun para ahli tajwid.
• perubahan bunyi huruf dengan huruf lain
• perubahan harakat dengan harakat lain
• memanjangkan huruf yang pendek atau sebaliknya.
• Mentasydidkan huruf yang tidak seharusnya atau sebaliknya.b. اَلّلحْنُ اْلخَفِيْ /Al-Lahnul KhofiyKesalahan ringan yang tidak diketahui secara umum, kecuali oleh orang yang memiliki pengetahuan mengenai kesempurnaan membaca AlQuran.
Diantaranya:
• hukum-hukum pembacaan seperti membaca mad wajib muttashil atau lazim dengan dua atau tiga harakat
• tidak menerapkan kaidah ghunnah pada huruf-huruf yang seharusnya dibaca dengan ghunnah.
Contoh :
أَنْزَلَ – يُنْفِقُوْنَ – وَمَا أَنْزَلَ مِنْ قَبْلِكَ – إِذَا جَآءَ
• perubahan bunyi huruf dengan huruf lain
• perubahan harakat dengan harakat lain
• memanjangkan huruf yang pendek atau sebaliknya.
• Mentasydidkan huruf yang tidak seharusnya atau sebaliknya.b. اَلّلحْنُ اْلخَفِيْ /Al-Lahnul KhofiyKesalahan ringan yang tidak diketahui secara umum, kecuali oleh orang yang memiliki pengetahuan mengenai kesempurnaan membaca AlQuran.
Diantaranya:
• hukum-hukum pembacaan seperti membaca mad wajib muttashil atau lazim dengan dua atau tiga harakat
• tidak menerapkan kaidah ghunnah pada huruf-huruf yang seharusnya dibaca dengan ghunnah.
Contoh :
أَنْزَلَ – يُنْفِقُوْنَ – وَمَا أَنْزَلَ مِنْ قَبْلِكَ – إِذَا جَآءَ
Lalu bagaimana bila membaca Al Quran dengan cepat?
Sebelum dijawab akan dipaparkan teknis membaca Al Quran dari segi kecepatan.
1. اَلتَّحْقِيْقُ (At-Tahqiq), yaitu bacaan yang sangat lambat, yang lazim digunakan untuk metode pembelajaran
2. التَّرْتِيْلُ (At-Tartil), yaitu bacaan perlahan dan tenang, cocok untuk sembari mentadabburi Al Quran
3. اَلتَّدْوِيْرُ (At-Tadwir), yaitu bacaan yang tidak terlalu capat dan tidak terlalu lambat, bacaan dengan irama yang sedang.
4. اَلْحَدَرُ (Al-Hadr), yaitu bacaan yang dilakukan dengan cepat
Dan apabila menemukan bacaan Quran yang cepat mungkin termasuk Al Hadr.
Namun perlu diperhatikan kecepatan manapun yang digunakan wajib tetap memperhatikan ilmu tajwid.
Khusus Al Hadr, yang perlu diwaspadai :
1. Panjang mad dan tanwin perlu hati-hati jangan sampai hilang
2. Sifat makhorijul huruf tetap ada
3. Adapun membaca al-Quran dengan cepat hingga berakibat lahn yang
dapat merusak terhadap arti atau makna al-Quran, menghilangkan atau
meninggalkan hukum-hukum yang ada dalam Tajwid, serta hurufnya berubah,
maka dihukumi haram.
Sementara yang harus diwaspadai dari cara At-Tahqiq:
1) Berlebih-lebihan dalam Ghunnah & panjang Mad
2) Mengulur harakat sehingga menyebabkan timbulnya huruf baru
1) Berlebih-lebihan dalam Ghunnah & panjang Mad
2) Mengulur harakat sehingga menyebabkan timbulnya huruf baru
Bagaimana kita memilih?
Pilihlah yang mudah bagi kita. Tentunya
dengan tidak mengindahkan hukum tajwid yang ada. Sedikit demi sedikit,
cara membaca Al-Quran boleh diubah menjadi lebih lambat, tetapi lebih
benar bacaannya. Sebab meski jumlah yang dibaca sedikit, namun akan
memberikan pahala yang lebih banyak, bila membacanya benar. Sebaliknya,
meski yang dibaca banyak, tapi kalau salah semua, tentu kurang
mendatangkan pahala. Malah boleh jadi terancam mendapat dosa.
Kesalahan dasar dalam membaca Quran jangan dilupakan juga.
1. Tidak konsisten dalam membaca tanda-tanda panjang.
2. Tidak konsisten/seimbang dalam membaca ghunnah.
3. Pengucapan vokal yang tidak sempurna.
4. Pengucapan huruf sukun yang tidak sesuai dengan kaidah tajwid (sering dipantulkan).
2. Tidak konsisten/seimbang dalam membaca ghunnah.
3. Pengucapan vokal yang tidak sempurna.
4. Pengucapan huruf sukun yang tidak sesuai dengan kaidah tajwid (sering dipantulkan).
Silahkan memilih. Apabila ingin yang
cepat atau lambat semua terserah pada kita. Namun bila ingin bisa
membaca dengan teknik hadr atau cepat tidak ada cara lain selain
berlatih. Maka latihlah diri kita, dan apabila belum bisa janganlah
berkecil hati apalagi sampai iri hati. Allah selalu melihat amal
berdasarkan niat, keikhlasan serta kesungguhan kita dalam
menjalankannya. Dan tiada yang paling tahu tentang itu kecuali Allah
bukan kawan?
Kesimpulan :
Cepat atau lambat tergantung bagaimana yang mudah bagi kita, asal wajib mematuhi tajwid
Oleh : M Faizal Ramadhan,
sumber : http://mqitt.wordpress.com
Subscribe to:
Posts (Atom)