KEMASYHURAN QIRA'AT 'ASHIM RIWAYAT HAFS DI DUNIA ISLAM
Oleh : Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad, MA[1] 
 
Dalam Ilmu Qira’at ada sepuluh Imam Qira’at yang sangat masyhur, bacaan 
mereka disepakati oleh Ulama Qira’at sebagai bacaan yang mutawatir, 
artinya bacaan yang betul-betul asli berasal dari nabi Muhammad dari 
malaikat Jibril dari Allah. Sepuluh Imam Qira’aat tersebut ialah : 1. 
Nafi’ bin Abi Nu’aim al-Ashbihani. 2. Ibn Katsir, Abdullah bin Katsir 
al-Makki. 3. Abu ‘Amr , Zaban bin al-‘Ala’. 4. Ibn ‘Amir Abdullah bin 
‘Amir as-Syami. 5. ’Ashim bin Abi an-Najud. 6. Hamzah bin Habib 
az-Zayyat. 7. Kisa’I, Ali bin Hamzah. 8. Abu Ja’far, Yazid bin 
al-Qa’qa’. 9. Ya’qub al-Hadlrami dan 10. Khalaf al-bazzar (al-Bazzaz). 
Setiap Imam tersebut mempunyai banyak murid. Di antara mereka ada murid 
kenamaan yang sangat mahir meriwayatkan bacaan Al-Qur’an dari imam-imam 
mereka atau murid-muridnya.
Dalam perjalanan waktu, dan karena seleksi ilmiah dan alamiah, muncul 
nama-nama yang akhirnya dijadikan sebagai referensi yang sangat valid 
dan sangat dipercaya sebagai bacaan yang merefleksikan bacaan Imam-Imam 
qira’at sebagaimana di atas.  Mereka yang disebut sebagai para perawi 
dari Imam-Imam sepuluh adalah : 1. Nafi’ kedua perawinya : Qalun dan 
Warsy. 2. Ibn Katsir : al-Bazzi dan Qunbul. 3. Abu ‘Amr : ad-Duri dan 
as-Susi. 4. Ibn ‘Amir : Hisyam dan Ibn Dzakwan. 5. ‘Ashim:  Syu’bah dan 
Hafsh. 6. Hamzah : Khalaf dan Khallad. 7. Al-Kisa’I : Abu al-Harits dan 
ad-Duri al-Kisa’i. 8. Abu Ja’far : Ibn Jammaz dan Ibn Wardan. 9. Ya’qub :
 Rauh dan Ruwais. 10. Khalaf : Ishaq dan Idris. Yang akan kita bicarakan
 disini adalah Imam Hafsh perawi utama Imam ‘Ashim.
Riwayat Hidup Imam Hafsh.
Namanya Hafsh bin Sulaiman bin al-Mughirah, Abu Umar bin Abi Dawud 
al-Asadi al-Kufi al-Ghadliri al-Bazzaz. Beliau lahir pada tahun 90 H. 
Pada masa mudanya beliau belajar langsung kepada Imam ‘Ashim yang juga 
menjadi bapak tirinya sendiri. Hafsh tidak cukup mengkhatamkan Al-Qur’an
 satu kali tapi dia mengkhatamkan Al-Qur’an hingga beberapa kali, 
sehingga Hafsh sangat mahir dengan Qira’at ‘Ashim. 
Sangatlah beralasan jika Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa : “riwayat 
yang sahih dari Imam ‘Ashim adalah riwayatnya Hafsh”. Abu Hasyim 
ar-Rifa’I juga mengatakan bahwa Hafsh adalah orang yang paling 
mengetahui bacaan Imam ‘Ashim. Imam adz-Dzahabi memberikan penilaian 
yang sama bahwa dalam penguasaan materi Qira’at, Hafsh adalah merupakan 
seorang yang tsiqah (terpercaya) dan tsabt (mantap).  Sebenarnya Imam 
‘Ashim juga mempunyai murid-murid kenamaan lainnya, salah satu dari 
mereka yang akhirnya menjadi perawi yang masyhur adalah Syu’bah Abu 
bakar bin al-‘Ayyasy. Hanya saja para ulama lebih banyak mengunggulkan 
Hafsh daripada Syu’bah.
Imam Ibn al-Jazari dalam kitabnya “Ghayah an-Nihayah fi Thabaqat 
al-Qurra’ ” tidak menyebutkan guru-guru Hafsh kecuali Imam ‘Ashim saja. 
Sementara murid-murid beliau tidak terhitung banyaknya, mengingat beliau
 mengajarkan Al-Qur’an dalam rentang waktu yang demikian lama. Di antara
 murid-murid Hafsh adalah : Husein bin Muhammad al-Murudzi, Hamzah bin 
Qasim al-Ahwal, Sulaiman bin Dawud az-Zahrani,  Hamd bin Abi Utsman 
ad-Daqqaq, al-‘Abbas bin al-Fadl ash-Shaffar, Abdurrahman bin Muhamad 
bin Waqid, Muhammad bin al-fadl Zarqan, ‘Amr bin ash-Shabbah, Ubaid bin 
ash-Shabbah, Hubairah bin Muhammad at-Tammar, Abu Syu’aib al-Qawwas, 
al-Fadl bin Yahya bin Syahi, al-Husain bin Ali al-Ju’fi, Ahmad bin 
Jubair al-Inthaqi dan lain-lain.
Hafsh memang seorang yang menghabiskan umurnya untuk berkhidmah kepada 
Al-Qur’an. Setelah puas menimba ilmu Qira’at kepada Imam ‘Ashim, beliau 
berkelana ke beberapa negeri antara lain Baghdad yang merupakan Ibukota 
negara pada saat itu. Kemudian dilanjutkan pergi menuju ke Mekah. Pada 
kedua tempat tersebut, Hafsh mendarmabaktikan ilmunya dengan mengajarkan
 ilmu Qira’at khususnya riwayat ‘Ashim kepada penduduk kedua negeri 
tersebut. Bisa dibayangkan berapa jumlah murid di kedua tempat itu yang 
menimba ilmu dari beliau. Jika kemudian riwayat Hafsh bisa melebar ke 
seantero negeri, hal tersebut tidaklah aneh mengingat kedua negeri 
tersebut adalah pusat keislaman pada saat itu.
Sanad Bacaan Hafsh.
Sanad ( runtutan periwayatan) Imam Hafsh dari Imam ‘Ashim berujung 
kepada sahabat Ali bin Abi Thalib. Sementara bacaan Syu’bah bermuara 
kepada sahabat Abdullah bin Mas’ud. Hal tersebut dikemukakan sendiri 
oleh Hafsh ketika beliau mengemukakan kepada Imam ‘Ashim, kenapa bacaan 
Syu’bah banyak berbeda dengan bacaannya ? padahal keduanya berguru 
kepada Imam yang sama yaitu ‘Ashim. Lalu ‘Ashim menceritakan tentang 
runtutan sanad kedua rawi tersebut. Runtutan riwayat Hafsh adalah 
demikian: Hafsh - ‘Ashim - Abu Abdurrahman as-Sulami- Ali bin Abi 
Thalib. Sementara runtutan periwayatan Syu’bah adalah demikian: Syu’bah-
 Ashim- Zirr bin Hubaisy-Abdullah bin Mas’ud.
Penyebaran Qira’at di Negeri-Negeri Islam.
Pada saat ini Qira’at yang masih hidup di tengah-tengah umat Islam di 
seluruh dunia tinggal beberapa saja, yaitu : 
1. Bacaan Imam Nafi’ melalui riwayat Qalun masih digunakan oleh 
masyarakat Libia dan Tunisia pada umumnya. Sementara riwayat Warsy masih
 digunakan oleh masyarakat di Afrika Utara (al-Maghrib al-‘Arabi) 
seperti Aljazair, Maroko, Mauritania. Sedangkan masyarakat di Sudan  
masih menggunakan empat riwayat yaitu : Qalun, Warsy, ad-Duri Abu ‘Amr, 
dan Hafsh.
2. Bacaan riwayat ad-Duri Abu ‘Amr masih banyak digunakan oleh kaum 
Muslimin di Somalia, Sudan, Chad, Nigeria, dan Afrika tengah secara 
umum. Pada waktu-waktu yang lalu riwayat ad-Duri juga digunakan oleh 
orang Yaman. Hal itu terbukti bahwa Tafsir Fath al-Qadir karya 
asy-Syaukani tulisan Al-Qur’annya mengikuti riwayat ad-Duri. Adanya 
riwayat ad-Duri di Yaman barangkali rembesan dari Sudan. Mengingat 
hubungan kedua negera tersebut telah terjalin sejak dahulu.
3. Bacaan Al-Qur’an riwayat Hafsh dari ‘Ashim adalah bacaan yang paling 
banyak tersebar di seantero dunia Islam.
Mengingat masih hidupnya beberapa bacaan melalui riwayat tersebut di 
atas, pemerintah Saudi Arabia melalui Mujamma’ Malik Fahd bin Abdul 
Aziz, telah mencetak beberapa Mushaf Al-Qur’an dengan lima riwayat yaitu
 : Hafsh, Qalun, Warsy, ad-Duri dan terakhir adalah Syu’bah. 
Latar Belakang Penyebaran Qira’at di Dunia Islam.
Sebagaimana diketahui bahwa pada masa sahabat Umar bin Khaththab, banyak
 negeri-negeri di Irak dan Syam jatuh ke tangan kaum Muslimin. Banyak 
permintaan dari kaum Muslimin di negeri-negeri tersebut kepada sahabat 
Umar agar mengirimkan guru-guru Al-Qur’an ke negeri-negeri mereka. Maka 
sahabat Umar mengirimkan beberapa utusannya, antara lain adalah sahabat 
Ibnu Mas’ud diutus ke Kufah, Abu Musa al-Asy’ari diutus ke Basrah, Abu 
ad-Darda’ diutus  ke Syam (Syiria).  Bacaan mereka itulah yang akhirnya 
menyebar ke negeri negeri tersebut.
Pada masa sahabat Usman, terutama setelah penulisan ulang mushaf 
Al-Qur’an, sahabat Usman mengirimkan beberapa guru Al-Qur’an bersama 
dengan mushaf  yang baru saja ditulis ke negeri-negeri Basrah, Kufah, 
dan Syam.  Penduduk negeri-negeri tersebut berseteru tentang bacaan 
Al-Qur’an mereka pada saat perang di Azerbaijan dan Armenia di Uni 
Soviet. Pada saat itu sahabat Usman mengutus al-Mughirah bin Abi Syihab 
al-Makhzumi ke Syam. Dari Syam lalu muncul seorang Qari’ terkenal yaitu 
Ibn ‘Amir. Ibn al-Jazari mengatakan bahwa bacaan penduduk negeri Syam 
sampai pada tahun 500 H, menggunakan Qira’at Ibn ‘Amir.
Adapun di negeri Basrah di Iraq setelah masa Abu Musa al-Asy’ari 
muncullah beberapa Imam Qira’at.  Di antara mereka adalah Imam Abu ‘Amr 
al-Bashri  dan Ya’qub al-Hadlrami. Sampai pada tahun 200 H, masyarakat 
Basrah masih menggunakan Qira’at Abu ‘Amr al-Bashri. Kemudian mereka 
beralih ke Qira’at Ya’qub al-Hadlrami sampai abad ke 5 H sebelum 
akhirnya beralih ke riwayat Hafsh pada masa Turki Usmani.
Sementara di negeri Kufah dimana Abdullah bin Mas’ud dikirim untuk 
mereka, muncul banyak ahli Qira’at. Di antara mereka adalah Imam ‘Ashim.
 Lalu Imam ‘Ashim sebagaimana diutarakan di atas mengajarkan kepada 
murid-muridnya antara lain Hafsh dan Syu’bah. Keterkaitan penduduk Kufah
 dengan Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib adalah sesuatu yang 
sangat wajar. Penduduk Kufah dalam sejarah perpolitikan adalah pengikut 
setia (syi’ah) Ali bin Abi Thalib. Sedangkan Ibn Mas’ud adalah orang 
pertama yang mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada penduduk Kufah. 
Sehingga mereka bangga dengan Ibn Mas’ud.
Disamping bacaan Imam ‘Ashim, di Kufah juga tersebar bacaan Imam Hamzah,
 perawi Hamzah al-Kisa’i dan Khalaf. Tentang tersebarnya bacaan Hamzah, 
Ibn Mujahid berkata dalam kitabnya as-Sab’ah, ketika mengutip perkataan 
 Muhammad bin al-Haitsam al-Muqri :
)  أدركت الكوفة  ومسجدها الغالب عليه قراءة حمزة , ولا أعلمنى أدركت حلقة 
من حلق المسجد يقرءون بقراءة عاصم )
Artinya : aku menjumpai penduduk Kufah, bacaan yang dibaca di 
masjid-masjid mereka adalah bacaan Hamzah. Aku tidak menjumpai beberapa 
kelompok pengajian Al-Qur’an di masjid-masjid Kufah dengan bacaan Imam 
‘Ashim.
Akan halnya bacaan al-Kisa’i, dalam banyak hal banyak persamaannya 
dengan bacaan Imam Hamzah terutama dalam bab Imalah.
Ibn Mujahid dalam kitabnya “as-Sab’ah” yang ditulis sekitar tahun 300 H 
 menjelaskan, bahwa bacaan Al-Qur’an pada negeri-negeri Islam adalah 
sebagai berikut : di  Mekah dengan bacaan Ibn Katsir, di Madinah dengan 
bacaan Nafi’,      di Basrah dengan bacaan Abu ‘Amr al-Bashri. Sementara
 di Kufah dengan bacaan ‘Ashim, Hamzah dan al-Kisa’i. Sementara itu Imam
 Makki al-Qaisi (w. 437 H) berkata tentang bacaan penduduk negeri-negeri
 Islam  pada masa lalu:
) وكان الناس على رأس المائتين بالبصرة على قراء ة أبى عمرو البصرى ويعقوب 
الحضرمى , وعلى أهل الكوفة قراءة حمزة وعاصم , وبالشام على قراءة ابن عامر ,
 وبمكة على قراءة ابن كثير , وبالمدينة على قراءة نافع , واستمروا على ذلك .
 فلما كان على رأس الثلاث مئة اثبت ابن مجاهاد اسم الكسائى  وحذف يعقوب )
Artinya : pada permulaan tahun 200 H, masyarakat di Basrah mengikuti 
bacaan Abu ‘Amr al-Basri dan Ya’qub. Di Kufah mengikuti bacaan Hamzah 
dan ‘Ashim. Di Syam mengikuti bacaan Ibn ‘Amir. Di Madinah mengikuti 
bacaan Nafi’. Kemudian pada penghujung tahun 300 H, Ibn Mujahid memasang
 nama al-Kisa’i dan mengganti Ya’qub.
 
Tersebarnya Riwayat Hafsh.
Banyak dibicarakan oleh komunitas Al-Qur’an baik di dunia Arab atau 
lainnya tentang penyebab tersebarnya riwayat Hafsh di dunia Islam. 
Sebagian kalangan mengatakan bahwa pemerintahan Turki Usmani (sekitar 
922 H/1516 M) mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam hal ini, 
yaitu melalui kekuatan politik kekuasaan. Sebagaimana diketahui bahwa 
pemerintahan Turki Usmani pada saat  mencetak mushaf, mereka memilih 
bacaan riwayat Hafsh. Lalu mereka kembangkan bacaan riwayat ini ke 
seluruh negeri.
Namun pendapat ini dibantah oleh Ghanim Qadduri al-Hamd. Dia mengatakan 
bahwa riwayat Hafsh sebenarnya telah menyebar di beberapa tempat. 
Kemudian Ghanim menyebutkan perkataan Abu Hayyan dalam tafsirnya 
“al-Bahr al-Muhith”: tentang riwayat Warsy dan ‘Ashim :
( وهى (رواية ورش ) الرواية التى تنشأ عنها ببلادنا ( الأندلس ) ونتعلمها 
فى المكتب . وقال عن قراءة عاصم : وهى القراءة التى ينشأ عليها أهل العراق 
 ) ( البحر 115/1)
Ghanim kemudian merujuk kepada perkataan Muhammad al-Mar’asyi yang hidup
 pada abad ke 12 H (w. 1150 H) yang disebut juga dengan Savhaqli Zadah:
( والمأخوذ فى ديارنا ( عش مدينة فى جنوب تركيا الآن ) قراءة عاصم برواية 
حفص عنه )
Artinya : yang dijadikan patokan di negeri kami (Turki) adalah bacaan 
‘Ashim riwayat Hafsh.
Dalam pandangan penulis ada beberapa penyebab tentang menyebarnya 
riwayat Hafsh. Ada yang berupa faktor alamiah yaitu riwayat tersebut 
mengalir dan menyebar dengan sendirinya seperti mengalirnya air 
sebagaimana juga tersebarnya madzhab-madzhab fikih, dan ada juga faktor 
ilmiah yaitu dilihat dari materi bacaan Hafsh itu sendiri. Secara garis 
besar bisa penulis rangkum sebagai berikut :
1.Jika dilihat dari segi materi ilmiah, maka riwayat Hafsh adalah 
riwayat yang relatif mudah dibaca bagi orang yang non Arab mengingat 
beberapa hal :
Pertama : tidak banyak bacaan Imalah, kecuali pada kata : (مجراها )  
pada surah Hud. Hal ini berbeda dengan bacaan Syu’bah, Hamzah, 
al-Kisa’i, Abu ‘Amr dan Warsy yang banyak membaca Imalah.
Kedua : tidak ada bacaan Shilah Mim Jama’ sebagaimana apa yang kita 
lihat pada bacaan Qalun dan Warsy. Bacaan Shilah membutuhkan kecermatan 
bagi pembaca, mengingat bacaan ini tidak ada tanda tertulisnya.
Ketiga : Dalam membaca Mad Muttashil dan Munfashil, bacaan riwayat Hafsh
 terutama thariq Syathibiyyah tidak terlalu panjang sebagaimana bacaan 
Warsy dan Hamzah yang membutuhkan nafas yang panjang. Bahkan dalam 
thariq Thayyibah, yaitu yang melalui jalur ‘Amr bin ash-Shabbah thariq 
Zar’an dan al-Fil bacaan Hafsh dalam Mad Munfashil bisa Qashr (2 
harakat).
Keempat : dalam membaca Hamzah baik yang bertemu dalam satu kalimah atau
 pada dua kalimah, baik berharakat atau sukun, riwayat Hafsh cenderung 
membaca tahqiq yaitu membaca dengan tegas (syiddah) dengan tekanan suara
 dan nafas yang kuat, sehingga terkesan kasar. Hal ini berbeda dengan 
bacaan Nafi’  melalui riwayat Warsy, Qalun. Bacaan Abu ‘Amr melalui 
riwayat  ad-Duri dan  as-Susi. Bacaan Ibn Katsir melalui riwayat 
al-Bazzi dan  Qunbul yang banyak merubah bacaan Hamzah menjadi bacaan 
yang lunak. Contohnya adalah pada Hamzah sakinah  atau jika ada dua 
Hamzah bertemu dalam satu kalimah atau dua kalimah. Imam Hafsh mempunyai
 bacaan tashil baina baina hanya pada satu tempat saja yaitu pada 
kalimat : ( ءأعجمى ) pada surah Fushshilat : 44.
Kelima : Hafsh mempunyai bacaan Isymam hanya pada satu tempat yaitu pada
 kata : ( لا تأمنا ) sebagaimana juga bacaan imam lainnya selain Abu 
Ja’far.
Keenam: Hafsh mempunyai bacaan Mad Shilah Qashirah hanya pada kalimat : 
 ويخلد فيه مهانا ) ) pada surah al-Furqan: 69. Hal ini berbeda dengan 
bacaan Ibn Katsir yang banyak membaca Shilah Ha’ Kinayah.
2.Jika dilihat dari awal kemunculan bacaan ‘Ashim yaitu di Kufah atau 
Iraq, secara politis, negeri Kufah (Iraq) adalah negerinya pengikut Ali 
(Syi’ah). Bacaan Hafsh juga bermuara kepada sahabat Ali.  Kemudian 
Negeri Baghdad, dimana Hafsh pernah mengajar disini,  adalah Ibukota 
negara  (Abbasiyyah) pada masa itu, pusat kegiatan ilmiah, sehingga 
penyebarannya relatif lebih mudah. Jika kemudian Hafsh bermukim di Mekah
 kiblat kaum Muslimin yang banyak dihuni mukimin dari berbagai penjuru 
dunia dan mengajar Al-Qur’an  di sini, maka bisa dibayangkan pengaruh 
bacaannya.
Penulis juga melihat adanya hubungan yang cukup signifikan antara 
madzhab fikih dan Qira’at. Sebagai contoh: riwayat Warsy adalah riwayat 
yang banyak diikuti oleh masyarakat di Afrika Utara. Di sana madzhab 
fikih yang banyak dianut adalah madzhab Maliki. Masa hidup  Imam Malik  
adalah sama dengan masa hidup Imam Nafi’. Keduanya  di Madinah. Bisa 
jadi pada saat masyarakat Afrika Utara berkunjung ke Madinah untuk haji 
atau lainnya, mereka belajar fikih kepada Imam Malik dan belajar 
Qira’atnya kepada Imam Nafi’. Kita tahu bahwa Hafsh pernah bermukim dan 
mengajar Al-Qur’an di Mekah. Imam Syafi’i juga hidup di Mekah. Boleh 
jadi pada saat hidupnya kedua Imam tersebut kaum Muslimin memilih 
madzhab kedua Imam tersebut. Kemudian jika kita melihat sanad bacaan 
riwayat Hafsh pada guru-guru dari Indonesia, semisal sanad Kiai Munawwir
 Krapyak, akan kita jumpai banyak ulama madzhab Syafi’i pada sanad 
tersebut, seperti Zakariyya al-Anshari dan lain sebagainya.
3.Hafsh mempunyai jam mengajar yang demikian lama, sebagaimana dikatakan
 oleh Ibn al-Jazari sehingga murid-muridnya bertebaran di berbagai 
tempat. Hal ini berbeda dengan Syu’bah yang tidak begitu lama mengajar.
4.Hafsh dianggap sebagai perawi Imam ‘Ashim yang demikian piawai dan 
menguasai terhadap bacaan gurunya. Sebagaimana diketahui Hafsh adalah 
murid yang sangat setia pada  ‘Ashim. Mengulang bacaan berkali-kali, dan
 menyebarkan bacaan ‘Ashim di beberapa negeri dalam rentang waktu yang 
demikian lama. Makki al-Qaisi menyebutkan bahwa  ‘Ashim mempunyai 
kefashihan membaca yang tinggi, validitas sanadnya juga sangat kuat dan 
para perawinya juga tsiqah (sangat dipercaya).
5.Ghanim Qadduri al-Hamd menyebutkan bahwa mushaf pertama yang di cetak 
di Hamburg (Jerman) pada tahun 1694 M/1106 H,  diharakati dengan bacaan 
Hafsh yang ada di perpustakaan-perpustakaan di beberapa negeri Islam. 
Hal ini mempunyai banyak pengaruh pada masyarakat, dimana mereka 
menginginkan adanya mushaf yang sudah dicetak. Para penerbit mushaf di 
Hamburg sudah tentu melihat terlebih dahulu kecenderungan masyarakat 
Islam pada saat itu. Bahkan Blacher, seorang orientalis yang cukup 
terkemuka dalam bidang studi Al-Qur’an pernah mengatakan :
( ان الجماعة الاسلامية لن تعترف فى المستقبل الا بقراءة حفص عن عاصم ) 
artinya : kaum Muslimin pada masa yang akan datang tidak akan 
menggunakan bacaan Al-Qur’an kecuali dengan riwayat Hafsh dari ‘Ashim. 
Pernyataan Blacher yang pasti didahului oleh pengamatan yang seksama, 
jelas menggambarkan kecenderungan masyarakat di dunia Islam pada saat 
itu dan pada masa yang akan datang sehingga dia bisa memastikan hal 
tersebut.
6.Ghanim Qadduri juga menyebutkan dengan melansir dari kitab “Tarikh 
Al-Qur’an” karya Muhammad Thahir Kurdi, bahwa penulis  mushaf yang 
sangat terkenal pada masa pemerintahan Turki Usmani, adalah al-Hafizh 
Usman (w. 1110 H). Penulis ini sepanjang hidupnya telah menulis mushaf 
dengan tangannya sendiri, sebanyak 25 mushaf.  Dari mushaf yang 
diterbitkan inilah riwayat Hafsh menyebar ke seantero negeri. Penulis 
melihat bagaimana hubungan antara keahlian menulis mushaf dengan khat 
yang indah bisa menjadi unsur yang cukup signifikan dalam penyebaran 
satu riwayat. Jika kemudian pemerintah Turki Usmani mencetak mushaf  
sendiri, dan menyebarkannya ke seantero negeri kekuasaannya, maka hal 
itu akan menambah pesatnya riwayat Hafsh. Dari sini penulis melihat 
adanya hubungan antara kekuasaan politik dengan penyebaran satu ideologi
 tertentu.
7.Peranan para qari’, guru, imam salat, dan radio, kaset, televisi, juga
 sangat berpengaruh  terhadap penyebaran riwayat Hafsh. Kita tahu bahwa 
rekaman suara pertama di dunia Islam adalah suaranya Mahmud Khalil 
al-Hushari atas inisiatif dari Labib Sa’id sebagaimana diceritakannya 
sendiri pada kitabnya “ al-Mushaf al-Murattal atau al-Jam’ash Shauti 
al-Awwal” rekaman ini dengan riwayat Hafsh thariq asy-Syathibiyyah. 
Suara yang bagus melalui teknologi yang canggih ikut memengaruhi satu 
bacaan.
8.Lebih dari penyebab lahiriah dari penyebaran riwayat Hafsh, kita tidak
 boleh melupakan adanya penyebab “maknawiyyah” atau faktor “berkah” atau
 bisa kita katakan faktor “x” pada diri Hafsh. Unsur-unsur spiritual 
seperti kesalehan, keikhlasan, ketekunan, pengorbanan Hafsh dalam 
mengabdi kepada Al-Qur’an ikut menjadi penyebab tersebarnya satu riwayat
 bahkan madzhab fikih atau lainnya. 
Penutup.
Riwayat Hafsh telah menjadi femomena tersendiri dalam penyebaran satu 
riwayat dalam Qira’at. Riwayat Hafsh akan terus melebar dan menyebar ke 
seantero dunia, bahkan ke negeri-negeri yang menggunakan riwayat lain 
seperti Warsy, Qalun, ad-Duri dan lain-lainnya,  sesuai dengan hukum 
kemasyarakatan. Dengan semakin menyebarnya riwayat ini, kedudukan 
Al-Qur’an menjadi semakin kokoh, keorisinilan bacaan Al-Qur’an dan 
mushaf Al-Qur’an menjadi semakin meyakinkan. Meredupnya riwayat lain 
bukan berarti meredupnya kemutawatiran satu bacaan. Bacaan-bacaan 
tersebut masih tetap mutawatir karena telah diakui oleh para imam-imam 
Qira’at terdahulu. Nabi sendiri tidak mewajibkan membaca Al-Qur’an 
dengan seluruh macam bacaan yang pernah diajarkannya kepada para 
sahabat-sahabatnya. Tapi Nabi hanya menyuruh para sahabatnya untuk 
membaca bacaan yang mudah baginya. Dengan demikian Al-Qur’an akan tetap 
terjaga kemurniannya sampai akhir zaman nanti. Itu pertanda bahwa 
Al-Qur’an adalah Kalamullah 



 
 
 
 
 
 
 
 
0 comments:
Post a Comment